![]() |
Ilustrasi (Ist) |
NYATAT.com, Sumenep - Dulu sekali, saya pernah mendengar bahwa media adalah bagian dari salah satu pilar utama penyangga demokrasi. Menjadi corong bagi kaum tertindas untuk menyampaikan aspirasi. Bahkan mengawal tiap kebijakan birokrasi agar benar-benar pro-rakyat. Seharusnya, memang begitu kerja-kerja jurnalistik sesuai fungsinya.
Tetapi, kali ini sudah terjadi pergeseran pemahaman yang signifikan dalam prinsip-prinsip jurnalistik tersebut. Semua itu dapat dilihat dari sudut pandang orientasi perusahaan media yang lebih mengarah pada kebutuhan dan kepentingan komersial. Sementara pengawalan terhadap tegaknya demokrasi sengaja ditempatkan pada posisi ke sekian.
Kali ini, saya tidak ingin membahas terlalu luas tentang pergeseran prinsip jurnalisme. Sedikitnya, cukup menyoroti fenomena yang terjadi di kabupaten kelahiran saya sendiri, yaitu Sumenep. Kemunculan perusahaan media di Kota Keris sudah menjamur dan bahkan tidak terkendali. Mayoritas di antaranya, sengaja dirintis untuk merebut formasi kerja sama dengan birokrasi. Tentu tujuan utamanya adalah untuk mendapatkan porsi alokasi anggaran iklan atau advertorial pencitraan program pemerintah.
Tahun lalu, tepatnya 2024, saya sempat bertanya tentang jumlah perusahaan media yang bekerja sama dengan Dinas Komunikasi dan Informatika (Diskominfo) Sumenep. Pertanyaan itu saya tujukan langsung kepada salah satu pegawai negeri sipil (PNS) yang bertugas di instansi tersebut. Yang bersangkutan menyebutkan, bahwa media yang menjalin MoU sudah mencapai sekitar 150 perusahaan. Namun di luar itu, masih lebih banyak lagi media baru yang terus bermunculan dan belum bekerja sama. Jumlahnya totalnya diperkirakan mencapai 500 nama media.
Munculnya perusahaan media yang ada di Sumenep, rata-rata didominasi oleh media online. Tidak heran, kemajuan teknologi telah berkembang pesat. Sehingga, melalui media online, informasi dapat tersebar luas dengan cepat. Bahkan, tidak memerlukan hitungan menit atau bahkan jam, tetapi per sekian detik saja sudah banyak informasi baru yang terus tersebar ke publik.
Satu sisi, publik akan sangat terbantu dengan peredaran informasi yang berlangsung cepat dan luas ini. Tetapi di sisi yang lain, kredibilitas informasi itu tidak sepenuhnya dapat dipercaya. Karena informasi yang disajikan dengan cepat dan instan, tentu proses kurasi atau penyuntingannya lebih minim. Begitu pun sebaliknya, informasi yang penyuntingannya melalui sejumlah tahapan akan membutuhkan waktu lebih lama untuk dapat ditayangkan ke publik.
Bagi saya, persoalan ini sebenarnya belum terlalu parah. Sebab, masih ada persoalan lain yang lebih krusial. Pendapat saya ini, didasarkan pada temuan di lapangan. Banyaknya media di Sumenep, sangat tidak sebanding dengan jumlah jurnalis yang ditemukan liputan langsung di lapangan. Salah satu contoh yang dapat menguatkan pendapat ini, bisa dilihat saat ada aksi demonstrasi di depan kantor pemerintah.
Pada peristiwa tersebut, hanya terdapat sejumlah wartawan yang melakukan liputan di lapangan, mungkin tidak lebih dari 15 orang. Namun saat berita telah tayang ke muka publik, justru jumlahnya sangat banyak hingga tidak dapat dihitung secara pasti.
Ironisnya, tidak sulit untuk menemukan berita yang memiliki judul dan kalimat isi berita sama persis dengan sejumlah media yang lain. Bahkan posisi titik, koma, hingga tanda petik dan kutipan langsung pun tidak ada perbedaan sama sekali.
Hemat saya, fakta ini mengindikasikan beberapa hal. Pertama, sejumlah media yang menjamur jumlahnya itu dikelola oleh beberapa orang yang sama. Sehingga, satu kali menulis berita maka tinggal menaikkan ke sejumlah website yang lain.
Kemudian indikasi yang lain, pengelola media tidak benar-benar paham cara menulis berita atau bahkan tugas dan fungsi jurnalis. Sehingga, yang bersangkutan tinggal meminta rilis berita kepada kawannya dan menaikkan tanpa ada revisi kalimat sedikit pun.
Pergeseran budaya jurnalisme seperti ini membuat informasi pemberitaan menjadi bias akan kredibilitas faktanya. Sedangkan kemajuan teknologi makin mempermudah penyebaran hoaks melalui berbagai platform.
Seharusnya, kehadiran perusahaan media profesional menjadi pasukan garda terdepan untuk menangkal hoaks. Tetapi kenyataannya, pergeseran budaya jurnalisme makin tidak terkendali hingga memicu minimnya kepercayaan publik.
Alih-alih menangkah hoaks. Sementara yang sering muncul di permukaan, pemberitaan dari sejumlah media sekadar berisi isu pencitraan birokrasi pemerintahan. Hampir sangat sulit untuk menemukan berita yang mengusung aspirasi rakyat bawah. Sebab, lagi-lagi orientasi utama perusahaan media saat ini adalah untuk mendapatkan jatah anggaran iklan dari instansi pemerintah. Jika masalah ini terus mengakar, tentu pada akhirnya tidak ada lagi yang bisa dipercaya publik kecuali dirinya sendiri. (*)
0 Komentar