Indonesia Gelap; Suara Rakyat Bukanlah Gerakan Perang

Mahasiswa dan masyarakat melakukan aksi demo di kawasan Patung Kuda, Jakarta dengan membawa poster Indonesia Gelap (21/02/2025). (Sumber Foto: Tempo.co)













Oleh : Moh. Busri

NYATAT.com - “Jika rakyat mulai bersuara dengan lantang, berarti situasi sedang tidak baik-baik saja.” Begitu kalimat yang sering diucapkan di sepanjang lorong-lorong perjuangan. Hal itu, pun sedang terjadi saat ini.

Selama satu bulan terakhir, tepatnya Februari ini, berbagai sosial media diramaikan dengan tagar-tagar yang dianggap suara dari rakyat. Sebagian warganet menyimpulkan, bahwa tagar itu melambangkan sebuah protes atau kekecewaan kepada negara.

Awalnya, tagar yang muncul dipostingan para pengguna sosial media adalah #KaburAjaDulu. Kemudian, satu minggu terakhir ini muncul tagar #IndonesiaGelap. Bahkan, kemunculan tagar-tagar tersebut kini berlanjut pada gerakan aksi demonstrasi di berbagai daerah.

Dengan mengusung tagar Indonesia Gelap, ribuan mahasiswa bersama masyarakat sipil menyuarakan kekecewaannya kepada negara. Sejumlah kebijakan yang diambil oleh petinggi negara dinilai tidak berpihak kepada rakyat. Bahkan sangat merugikan.

Sedikitnya, dalam demonstrasi besar yang digelar di beberapa daerah itu mengusung 13 poin tuntutan. Beberapa di antaranya, massa aksi mempersoalkan tentang program makan bergizi gratis; perombakan kabinet yang dianggap gemuk; bahkan juga mempersoalkan tentang efesiensi anggaran belanja negara.

Dalam siklus gerakan massa, tentu tidak asing dengan istilah “Aksi Pesanan”. Yaitu sebuah gerakan yang sengaja dimunculkan untuk mengawal kepentingan kelompok tertentu – alias tidak murni sebagai “Suara Rakyat.” Tetapi kali ini, gerakan yang terjadi tampaknya memang betul-betul sebagai suara protes dan kekecewaan dari masyarakat akar rumput.

Gerakan aksi yang dilakukan oleh pendemo kali ini tidak hanya berlangsung dalam satu hari. Tetapi terus berlanjut sampai berhari-hari. Berdasar catatan berita di media, demonstrasi dengan tagar Indonesia Gelap telah berlangsung mulai Senin 17 Februari 2025.

Demo dengan tagar yang sama terus berlangsung tiap hari hingga Jumat 21 Februari 2025. Gerakan ini seolah mengulang sejarah lama yang pernah terjadi di Bumi Pertiwi. Ya! Sejarah gerakan aksi 1998 yang berlangsung mulai tanggal 4-12 Mei. Semoga saja gerakan aksi kali ini tidak berujung dengan kerusuhan massal seperti sejarah kelam waktu dulu.


Kontroversi Program Makan Bergizi Gratis dan Efesiensi Anggaran

Salah satu poin yang dipersoalkan mahasiswa dalam Demonstrasi Indonesia Gelap adalah program makan bergizi gratis. Pada dasarnya, tidak ada yang salah dari program ini. Bahkan sangat membantu terhadap peserta didik.

Namun, yang menjadi persoalan, negara belum seutuhnya menyelesaikan konsep program ini secara matang. Terutama berkaitan dengan pengalokasian anggaran hingga strategi realisasinya.

Patut diakui bahwa negara terkesan memaksakan rencana program makan bergisi gratis. Sehingga, untuk dapat merealisasikan program tersebut, maka harus dilakukan langkah-langkah yang justru mengakibatkan dampak lebih fatal.

Kajian sederhananya, bisa dilihat pada pengalokasian anggaran. Sejauh ini, negara belum memiliki pandangan stategis terkait pemenuhan kebutuhan anggaran program makan bergizi gratis. Untuk itu, langkah taktis yang dilakukan adalah pemangkasan anggaran belanja negara.

Awalnya, Presiden Prabowo Subianto menargetkan pemangkasan anggaran belanja negara Tahun 2025 sebesar Rp 306,69 triliun. Hal itu mulai dilakukan pembahasan penyesuaian oleh kementerian dengan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI pada tanggal 12 dan 13 Februari 2025.

Sedangkan informasi terbaru, Presiden Prabowo malah makin menaikkan target pemangkasan anggaran belanja negara tahun ini. Dari yang semula Rp 306,69 triliun menjadi Rp 750 triliun. Dari angka tersebut, sekitar Rp 390 triliun akan dicanangkan untuk program makan bergizi gratis dan sisanya sekitar Rp 325 triliun untuk diinvestasikan di Danantara.

Langkah ini bisa disebut sebagai solusi yang sangat serampangan. Bagaimana tidak, dampak negatifnya justru lebih fatal dari pada manfaat program yang akan dilaksanakan. Bahkan, dampak pemangkasan anggaran itu dapat dirasakan saat ini juga.

Akibat kebijakan pemangkasan anggaran, maka akan banyak karyawan di instansi pemerintah yang dilakukan pemutusan hubungan kerja (PHK). Terutama, untuk karyawan dengan posisi jabatan rendah dan gaji tidak seberapa.

Hal itu telah terprediksi oleh Koordinator Advokasi BPJS Watch, Timboel Siregar. Dia mengatakan bahwa jumlah karyawan yang berpotensi terkena PHK akibat pemangkasan anggaran pemerintah tahun 2025, bisa mencapai 100 ribu orang. Angka ini tidak sedikit dan sangat merugikan banyak keluarga di Indonesia.

Ada banyak hal yang dapat dibayangkan jika negara terus memaksakan program makan bergizi gratis tanpa konsep yang jelas. Satu orang peserta didik dalam satu keluarga bisa mendapatkan satu kali makan bergisi gratis di sekolah per hari. Sementara di samping itu, dia terancam kehilangan kesempatan makan sekeluarga tiap hari akibat ayahnya kehilangan pekerjaan karena terkena PHK.

Bahkan, jika prediksi 100 ribu karyawan terkena PHK di tahun 2025 itu benar terjadi, maka akan ada 100 ribu keluarga yang terancam tidak makan. Sungguh ini nasib buruk bagi Bangsa Indonesia yang sama sekali tidak pernah terbayangkan.

Lantas, solusi seperti apa yang bisa dilakukan atas persoalan ini? Pada dasarnya, tidak ada yang salah dari program makan bergizi gratis. Bahkan, seharusnya ini disambut baik oleh rakyat Indonesia. Terutama bagi yang memang membutuhkan. Sebab, tidak semua peserta didik berasal dari kalangan keluarga kurang mampu.


Zonasi Program Sebagai Solusi Rasional

Negara bisa saja tetap merealisasikan program makan bergizi gratis. Tetapi, tidak perlu melakukan pemangkasan anggaran secara serampangan. Solusinya, yaitu memberlakukan zonasi dalam realisasi program.

Sasaran program makan bergizi gratis harus menyentuh peserta didik yang memang benar-benar membutuhkan. Khususnya, mereka yang berasal dari keluarga kurang mampu di daerah tertinggal. Salah satu contohnya adalah daerah bagian terluar Indonesia yang notabene pertumbuhan ekonominya masih minim.

Dalam penerapan zonasi program tersebut, tentunya tidak harus menyasar seluruh daerah terluar dalam satu waktu sekaligus. Melainkan, kebijakan itu dapat diberlakukan secara bertahap sambil menyetabilkan kondisi ketersediaan anggaran negara.

Setelah realisasi program makan bergizi gratis dianggap sukses terealisasi di beberapa daerah tertinggal, maka bisa dilanjutkan untuk diperluas ke beberapa daerah tertinggal lainnya. Program makan bergisi gratis tersebut, tidak perlu menyasar semua peserta didik sekaligus. Secara spesifik cukup diberikan kepada peserta didik yang berasal dari kalangan keluarga dengan pendapatan ekonomi di bawah rata-rata alias kurang mampu.


Suara Rakyat Harus Didengar

Mengenai terjadinya protes dari rakyat yang didasari pada rasa kecewa, memang sudah seharusnya didengarkan oleh petinggi negara. Bukan lantas dilawan, ditekan, atau bahkan dibungkam. Sebab, aspirasi yang muncul dari bawah adalah realita yang perlu direspons positif.

Tujuan semua program yang dirancang oleh negara, secara garis besar memiliki target yang sama. Yaitu bermuara pada kesejahteraan rakyat. Maka dari itu, jika muncul suara atau protes dari bawah, sejatinya hal tersebut merupakan sebuah kekhawatiran yang akan mengancam ketenangan – kesejahteraan rakyat.

Negara tidak bisa memaksakan kehendak melalui kebijakan seperti yang diinginkan. Karena subjek dan target dari kebijakan itu adalah rakyat. Maka realitas yang harus menjadi acuan adalah keinginan rakyat.

Aspirasi yang muncul dari bawah, seharusnya menjadi bahan evaluasi untuk melakukan kajian kembali pada kebijakan yang dianggap tidak baik. Sebab, dalam sejarah dunia, negara tidak akan pernah mencapai kemajuan tanpa adanya kritik dan perdebatan yang muncul dari bawah. (bus)


Posting Komentar

0 Komentar